Selasa, 21 Februari 2012

Tanah air ku tempatku menimbah Ilmu ...


Didesaku tempatku dulu menimba Ilmu….

Lirih lyrik lagu "Tanah airku" adalah sebagian kenangan yang membekas dan terus membayang pada sahabat dan para guru yang telah mengasah angan dan harapan di sebuah sekolah sederhana nun jauh di ujung desa di tanah kelahiran.

Lagu diatas mungkin sudah tidak dikenal oleh anak-anak zaman sekarang, tidak terkecuali mungkin anak-anak di kampung halamanku kini. Tapi lagu itu tetap membias dalam benakku, karena lagu itulah yang dulu sering kunyanyikan berulang-ulang setiap ada kesempatan untuk tampil didepan kelas saat berlomba siapa yang lebih dulu untuk pulang sekolah atau saat pelajaran seni suara salah satu mata pelajaran favoritku disekolah yang sangat sederhana itu. Sekolah Inpres pertama yang didirikan oleh pemerintah, di kampung halaman yang pernah dikunjungi “buya HAMKA”, yang novelnya dibawah lindungan ka’bah menjadi karya sastra melegenda.

Nun di ujung desa sekolahku yang masih berdinding susun sirih beroleskan cat kapur berwarna putih, dengan hiasan photo-photo pahlawan Nasional didinding ruang-ruang kelasnya dan beberapa lukisan karya anak didiknya yang berupa pemandangan alam pegunungan. Disekolah ini kami diajarkan membuka mata tentang pelajaran duniawi dan sebagian kecil pengetahuan tentang akhirat sebagai kurikulumnya. Melalui Bapak dan Ibu guru yang memang pantas di gugu dan ditiru mengajarkan banyak hal pada kami tentang perilaku, tata krama dan sopan santun serta kejujuran sesuai adat budaya bangsa. Dan terselip juga diantaranya tentang bagaimana kecintaan terhadap tanah air yang tersirat dari figure beberapa guru yang berasal jauh dari tanah jawa atau dari kabupaten lain yang akhirnya memilih menetap dan tinggal hidup membaur menjadi warga desa.

Cinta tanah air itu semakin melekat kuat ketika sepulang sekolah lumpur sawah menjadi sahabat sejati yang membaluri sekujur tubuh, dan meminum air yang langsung diseruput di pinggiran sungai Musi saat istirahat sekolah maupun setelah melalui penyaringan menggunakan lesung batu gunung yang akrab di sebut “saringan” di rumah adalah cara lain alam membenamkan doktrin mencintai tanah kelahiran. Bermain seluncuran dengan lumpur di belakang sekolah yang dibuat menyerupai permainan ski maupun berseluncur di tebing pinggiran sungai Musi adalah bagian kebaikan alam mengenalkan tanah air yang banyak memberikan berkah ini. Bermain di pasir pinggiran Sungai Musi saat kemarau tiba seolah menjadi nuansa lain yang menjadi kenangan indah, kelokan sungai Musi di hulu dan hilir desa dengan deretan pepohonan menjadi latar belakangnya semakin menambah indah kenangan sepanjang hayat dikandung badan.

Sekolah yang sederhana ini memacuh peserta didiknya dengan angan-angan yang tidak sederhana. Derap langkah murid yang sebagian masih bertelanjang kaki menuju kesekolah, tanpa sepatu mewah, bahkan ada yang berangkat dari sawah menyusuri jalan setapak dengan tas plastic “kantong kresek” sebagai wadah buku tulis lusuh, menggambarkan betapa semangat juang mereka untuk belajar begitu besarnya sehingga sulit digambarkan dengan kata-kata. Dengan Mata melotot memandang papan tulis hitam pekat dengan goresan kapur tulis, mereka berusaha menangkap setiap pelajaran yang di sampaikan Bapak-Ibu guru yang kadang terpaksa harus disampaikan menggunakan bahasa daerah karena murid-murid belum terbiasa bicara selain menggunakan bahasa ibu mereka yang telah menyatu dengan lidah sebagai subyek penghasil vocal konsonan anugerah Tuhan yang Maha Kuasa.

Dentang lonceng besi bernyanyi nyaring sebagai pertanda waktu belajar telah tiba, murid-murid berbaris tertib dipimpin ketua kelas yang dengan lantang meneriakkan “siap grak, lencang kanan grak, tegap grak…!” lalu menunjuk salah satu dari dua barisan yang berjejer untuk masuk lebih dulu ke ruang kelas. Kemudian satu demi satu guru kelas masuk mengiringi langkah kaki murid-muridnya untuk segera memulai mata pelajaran. Tidak lama kemudian terdengar koor murid-murid membaca do’a pembuka “Robbi Srohli Soddri, wayasirli amri wahlul uq’datam min lisanni yafqohu qouli”, dengan begitu bersemangatnya menyambut hari baru dengan lipatan tangan rapi diatas meja kayu yang sederhana. Sementara sang Pahlawan tanpa tanda jasa, tidak kalah semangatnya menginstall ilmu pengetahuan pada murid-muridnya, tanpa kenal lelah karena sebagian besar murid lebih banyak bengong karena kelelahan membantu orang tua baik pekerjaan rutin disawah maupun mengasuh adik yang masih balita atau memang kecerdasan Intelektual (IQ) mereka memang kurang memenuhi persyaratan karena tidak terpenuhinya syarat empat sehat lima sempurna dalam konsumsi makanan mereka.

Ketika dentang lonceng bergema kembali, pertanda jam istirahat tiba, dengan cepat dan sigap murid-murid berhamburan keluar ruang kelas, dan beberapa saat kemudian telah membentuk kelompok bermain masing-masing. Murid perempuan membentuk kelompok bermain “epak” mainan tradisional yang murah meriah hanya bermodalkan tanah yang digaris berbentuk petak sebagai lambang permainan, ada juga sebagian lain yang bermain catut karet. Sementara murid laki-laki sibuk bermain “gonto” (kelereng) dan kelompok lainnya bermain kasti bermodalkan satu bola tenis dan tongkat pemukul dari sepotong kayu. Teriakan gembira dan ringisan salah satu dari mereka yang terkena “cas” atau tembakan yang mengenai tubuh mereka dari lawan mainnya menjadi gema yang berkumandang membelah kesunyian hutan di sekeliling sekolah. Ada lagi sebagian murid yang sibuk dengan keahliannya melempar buah asam yang disebut “kadeper” yang batangnya tumbuh dan berdiri kokoh ditengah lapangan sekolah. Sementara murid kelas lima dan kelas enam biasanya sibuk bermain bola volley bersama guru olah raga. Gelak tawa dan canda membahana di angkasa, menembus cakrawala menjadi hiasan partikel-partikel udara yang terbang bersama awan menuju lagit biru yang membentang. Begitu indahnya kebersamaan itu. Disaat haus menerpa ketika permaian usai, lari menuju sungai sang sumber air mata alam menjadi tujuan sempurna. Menyeruput air dari sumbernya langsung telah menjadi kebiasaan turun temurun yang diwarisi dari kakak kakak kelas sebelumnya, sekalipun sering di ingatkan bapak dan ibu guru karena bisa menjadi sumber penyakit seperti muntaber, kolera dan disentri. Tetapi alam begitu mencintai kami, anak-anak yang dibesarkan dalam pelukan semesta raya yang membentang nan indah ini. Penyakit sepertinya tidak tega menghampiri kami, karena kuman dan segala sahabatnya telah terlalu akrab bersahabat setiap hari, sehingga dari air hujan yang mengguyur, dari tanah lumpur, dan dari air sungai yang tidak pernah menyentuh dinding tempayan yang dipanaskan dengan kayu bakar dengan suhu tertentu yang menjadi prasyaratnya ternyata justru menghasilkan kekebalan tubuh luar biasa, yang justru begitu susah payah didapat oleh anak-anak di perkotaan yang padat gizi.

Ketika waktu masuk kembali tiba, murid-murid segera bergegas menuju ruang kelasnya masing-masing untuk kembali bergulat dengan berbagai mata pelajaran yang entah menyangkut di otak atau sekedar numpang lewat dari telinga kiri lantas segera hilang melalui telinga kanan sebagaimana Bapak dan ibu guru sering mengingatkan. Dentang lonceng pertanda pulang, seolah gema alam yang paling dinanti oleh setiap murid-murid, karena pertanda dimulainya waktu bermain bebas, sebebas burung-burung yang terbang diangkasa raya menikmati setiap pesona waktu bersama teman sebaya. Ada pula yang segera bergegas menyusul orang tua kesawah atau ladang untuk sekedar berbuat semampunya meringankan beban dipundak orang tua mereka.

Kasih sayang bapak dan ibu guru yang tiada kenal lelah memberi bimbingan, seolah menjadi belaian kasih tak terhingga yang meresap kuat dalam ingatan sepanjang masa. Guru yang rela mendatangi rumah murid-muridnya satu persatu pada malam hari, sekedar memastikan bahwa murid-muridnya tekun belajar dan tidak berkeliaran bermain saat malam menjelang, guru yang rela mendatangi orang tua agar anak-anaknya diberi kesempatan untuk sekolah dan dibebaskan dari beban mengasuh adiknya yang masih balita karena harus menjalani ujian sekolah, seolah menjadi motivasi lain yang kuat menanamkan disiplin dan tanggung jawab terhadap masa depan. Celetar rotan “sege” sepanjang satu meter di papan tulis tatkala Bapak dan Ibu guru menyampaikan mata pelajaran, seolah menjadi hentakan yang menyejukkan agar ilmu dapat terbenam dan merekat kuat dalam ingatan para murid yang terdiri dari anak-anak desa yang lugu yang kadangkala bimbang menaruh harapan masa depan mereka.

Saat waktu terus bergulir, hari meretas minggu, minggu meretas bulan, dan bulan meretas tahun. Dari kwartal ke kwartal waktu terus berpindah meninggalkan kenangan berupa sederetan angka nilai yang terpatri di buku raport, maupun ijazah. Setelah itu murid-murid kembali berjibaku dengan berbagai tantangan kehidupan selanjutnya. Ada yang meneruskan sekolah kejenjang berikutnya, namun ada juga yang harus puas dengan pendidikan yang telah didapat dan terpaksa putus sekolah karena alasan kondisi ekonomi orang tua yang tak sanggup membiayai ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Nun di ujung desa kesunyian kembali menjadi nyanyian alam, yang mengitari sekeliling sekolah. Di sebuah prasasti yang menggambarkan betapa dulu di sini telah lahir beribu-ribu harapan, beribu-ribu kisah sukses anak desa membelalakkan mata pada ilmu pengetahuan yang terlahir dari sebuah kesederhanaan sarana pendidikan. Dari para guru yang sederhana. Guru yang telah mengenalkan dunia melalui pengajarannya, guru yang telah mengenalkan banyak hal tentang ketrampilan, ketangkasan, kecerdasan, kejujuran dan kesederhanaan. Guru yang mengajarkan tentang kedisiplinan, sikap hormat dan bertanggung jawab dengan belaian kasih sayang atau lewat hukuman terhadap kesalahan dengan celetar cemeti dari rotan pada telapak tangan. Sekalipun saat ini mereka mungkin tidak sempat mengenal tekhnologi yang terus berkembang, dari satellite palapa B2 yang dulu mereka ajarkan. Mereka yang mungkin tidak pernah tahu dan mengenal system koneksi Radio Link, VSAT atau bagaimana fiber optic dapat menghantarkan berjuta informasi dalam sekejap, mereka yang tak sempat mengenal berbagai gadget terbaru dan bagaimana internet menjadi penghubung belahan dunia yang dapat diakses bahkan dari sekolah sederhana kami yang masih berdiri megah menantang zaman hingga saat ini. Tetapi mereka telah mengenalkan banyak hal tentang mimpi, tentang harapan dan angan-angan anak desa yang sebagian bertelanjang kaki menyusuri harapan masa depan.

Kini kembali lirih syair ku dendangkan sembari membayang pada lentera yang telah menghidupkan sebuah harapan :
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan                 Tanah airku -Ibu Soed-


Salam rindu buat sahabat alumni SD Negeri 3 Bailangu
angkatan 1978 - 1984 :
Ani Purnama, Yurike Sanger, Rozalina, Rita. S Ruslan, Rosmala Dewi, Sri Wartini, Sri Hartati, Sri Pitriani, Susilawati, Maisuha, Ernawati, Nazirin, Zilpikar, Iwan Damyat, Iwan Denin, Ahyar, Tarzan, Saipul Oce, Sudir Oce, Mariadi/Cik ding, Rozali/Sekerut pakam, Darmizal, Tarmizon, Mintaria, Holip, Alpian, Sarwo Edi, Imran, Latip M, Waliya Talatop, Rasmadi, Slamat, Ishan.

Para guru yang bijak bestari :
Bpk Ishak Kohar, Guru Kholil, Pak Abuyani, Pak Awwan Auwab, Ibu Suroya, Ibu Aswati, Ibu Arjuna, Ibu Rozita, Ibu Yati Darman, Ibu Yamcik, Pak Sutarman, Ayahanda guru Alimaskaro

Selasa, 14 Februari 2012

Aku rindu kampung halamanku ....!

Matahari belumlah menampakkan diri, ketika asap kayu bakar mulai mengepul dari selah-selah dinding dan atap dapur warga, sebagai manifestasi kesibukan ibu-ibu yang semenjak subuh telah sibuk dengan segala persiapan ala kadar untuk membekali keluarganya dengan sarapan pagi. Dengan makanan khas antara lain godo-godo pisang, nasi ketan dan kopi manis yang merupakan makanan tradisi . Ibu-ibu siap menghantarkan para suami menjemput harapan masa depan mereka di alam yang terhampar luas berupa kebun para, ladang dan sawah. Sementara denguhan anak-anak yang baru beranjak dari peraduan terdengar sayup-sayup menyapa alam, sebagian dari mereka masih sedikit malas membuka kelopak mata untuk menuruni anak tangga kemudian berjalan gontai dan ada yang malah tergesa-gesa menelusuri jalan setapak menuju pinggiran sungai Musi untuk segera mandi dan membersihkan diri, lalu bersiap-siap dengan seragam sekolah ala kadarnya menjemput harapan masa depan mereka.

Ketika matahari mulai menyeruak menembus embun pagi kesibukan semakin bertambah, ibu-ibu berjalan beriringan dengan sang suami dengan sebuah keranjang rotan menggelayut di rongga kepala mereka berisi bekal ala kadar dan beberapa alat kerja seperti, mandau, sengkuit, arit dan lain sebagainya yang dibutuhkan untuk menggarap sawah, sebagian lagi sibuk menimbah perahu untuk mengeringkan air hujan yang menggenang atau imbas dari sedikit kebocoran dempul perahu yang mulai retak termakan usia. Tidak lama kemudian dengkuh dayung menyusuri sungai, dan seolah membelah alam dengan kepak air yang pecah di hentak satu persatu helaan dayung perahu untuk mendorongnya maju menatap asa di hamparan alam yang dituju.

Tidak kalah sibuknya jalanan arteri desa oleh sekumpulan anak muda berseragam sekolah yang saling menjemput teman sejawat mereka dengan sepeda ontel tua yang biasa disebut dengan “kereto angen” dengan riang gembira mendayung handle sepeda, menjemput impian masa depan mereka di sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas di ibukota kabupaten yang berjarak sekitar dua puluh dua kilo meter jauhnya. Dering bel sepeda tua dan gelak tawa canda mereka seolah menjadi nyanyian alam, yang menggema, menggetarkan sanubari. Karena nyanyian itu adalah nyanyian harapan, nyanyian itu adalah nyanyian menjemput impian masa depan. Nyanyian sukma yang lahir dan dibesarkan alam untuk bertekad merubah strata kehidupan dari petani sawah, petani ladang berpindah atau pergulatan hidup menjadi anak kapak toke para menjadi pendobrak dunia yang sayup-sayup terdengar indah dari berita yang dikabarkan mulai dari pidato sang proklamator Bung Karno yang menanamkan sugesti untuk menggantungkan cita-citamu setinggi bintang dilangit. Atau dari siaran Radio Trasnsistor tua yang mengabarkan berbagai berita tentang berbagai perubahan dunia, maupun dari televisi hitam putih yang masih sangat langkah yang memilikinya dengan jangkauan antenna tinggi menjulang mencakar langit, berusaha menangkap gelombang frekuensi dengan susah payah sehingga gambar samar-samar berbintik cukuplah menjadi penghibur memandang sudut lain perubahan dunia. Semuanya melahirkan sugesti, dan sugesti itu melahirkan impian. Ada yang berkeinginan menjadi Insinyur, Dokter, Guru, Tentara, Polisi, pegawai negeri atau hanya sekedar membekali diri dengan kemampuan baca tulis, dimana sebagian keluarga keturunannya nampak begitu tertinggal karena masih buta hurup dan hanya bisa menempelkan jempol tangan kiri saat mendaftarkan anak-anak mereka kesekolah.

Perlahan tapi pasti padi disawah mulai menguning, Ibu-ibu dan para suami kembali sibuk dengan tuai mereka berlomba dengan burung pipit memanen buahnya yang menguning dan terhampar luas di persawahan. Derik lantai pondok dari anyaman bambu terdengar ringkih oleh pijakan kaki mengurai buah padi dari tangkainya. Sementara anak-anak ikut serta dengan riang gembira atau malah sedikit merasa terpaksa karena diharuskan ikut membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah, sementara dalam benak mereka menari-nari keinginan untuk bermain dan bergembira bersama teman-teman sebaya.

Dan perlahan namun pasti anak-anak berseragam sekolah sebagian ada yang meneruskan cita-cita mereka lalu melanjutkan perjuangan harapan masa depan mereka ke kota untuk menatap liku-liku lain dari sebuah perjuangan menyambut impian. Laksana pungguk yang merindukan bulan mereka ditempa kembali ketahanan mentalnya dengan bekal seadanya dan harapan tiap bulan ada kiriman dari kampung halaman berupa sekarung bekal berupa sembako dan mujur kalau saat itu sedang ada musim ikan atau buah-buahan. Karena akan sedikit menambah protein dan gizi disela-sela padatnya perjuangan harian perut yang sudah terbiasa dengan nasi hangat ditaburi sedikit garam dengan lauk kerupuk yang sudah merupakan makanan rutin yang dilalui bersama padatnya tugas sekolah. Makanan tersebut seolah berlombah cepat dengan hapalan yang harus dipadatkan dalam rongga otak berupa kosa kata bahasa inggris, logaritma, rumus kimia, rumus fisika, rumus akuntansi keuangan, atau teori psikologi kejiwaan serta Ilmu matematika dasar yang seolah bebannya tidak kalah beratnya dengan mengangkut dua karung goni padi disawah hingga di hantarkan ke pabrik penggilingan beras di desa. Tidak kalah sibuknya ejekan dari nyamuk-nyamuk kota yang menggerogoti tubuh kurus yang tidak padat gizi karena tempat kos hanyalah kolong rumah yang jauh dari kesan sehat. Onggokan kasur tua dan meja belajar yang perlahan berkurang kekuatannya karena lapuk digerogoti rayap adalah bagian saksi sejarah betapa beratnya perjuangan cita-cita menjadi manusia modern dengan berbagai gelar dan embel-embel yang diidamkan.

Namun ada sebagian dari mereka yang menyerah pada nasib percintaan, sehingga tidak sempat menamatkan sekolahnya, karena terlanjur memilih hidup dengan cinta dalam mahligai rumah tangga. Memang ada sebagian yang dapat meneruskan sekolah sembari hidup berkeluarga. Tetapi sebagian besar mengubur cita-cita mereka dan kembali bergulat dengan keakraban lama sebagai perjalanan hidup turunan dari orang tua yakni kembali menjadi petani sawah, peladang atau pun penyadap getah para. Tapi ada yang jalan hidupnya lebih tragis, dengan alasan membuktikan rasa cinta yang mendalam terhadap pasangannya, maka saat perhelatan pernikahan, mereka menggelarnya dengan gemerlap pesta dengan modal pinjaman dari toke para yang kaya raya. Memang mashur pesta pernikahan mereka sepanjang masa, sampai-sampai ada yang memberi nama anak mereka yang lahir disaat bersamaan dengan perhelatan tersebut dengan “nama orkes” yang ditanggap, atau menggunakan nama biduan yang sempat berjoget dengan Bapak si jabang bayi ketika pesta digelar. Tetapi sesudah pesta gemerlap usai, sang pengantin baru harus menghadapi kenyataan bahwa hutang menggunung harus segera dicicil. Lalu pilihannya adalah satu dekade menjadi anak kapak sang toke di talang, sehingga kadang tiga orang buah hati telah menjadi buah rasa cinta mereka, hutang belum juga lunas. Ironi memang, tetapi itulah fakta kehidupan yang harus dijalani dan menjadi sejarah.

Disisi lain tirai kehidupan berjalan ada pula sejarah tercipta, jangan pula di tanya tentang beratnya perjuangan mereka yang meneruskan perjuangan cita-cita mereka di bangku sekolah, tantangan dan hambatan tidaklah mudah untuk ditaklukkan. Hambatan ekonomi disertai sikap sentimentil yang kadang kala timbul manakala rasa iba terbayang melihat orang tua di kampung halaman yang berjibaku berjuang keras mengais rezeki untuk memenuhi permintaaan bertubi-tubi akan kebutuhan anak-anaknya di kota kadangkala mengecilkan semangat juang.

Akhirnya setiap perjuangan hidup akan menghasilkan sesuatu. Rekan sejawat yang memilih hidup di kampung halaman meneruskan tradisi turun temurun, lalu melahirkan generasi baru dengan gejolak keinginan baru. Sementara di bentangan dunia lain rekan sejawat yang sukses meraih cita-cita mereka terus menapaki hidup sembari sesekali membayangkan kerinduan akan indahnya alam di desa.

Gemerincing suara dering sepeda, hentakan dayung perahu, nyanyian burung-burung dipagi hari, kokok ayam menyambut pagi, sawah menguning yang terhampar dan berbagai makanan khas lauk pauk menjadi penghias kerinduan hati. Bermalam di sawah tatkala padi mulai menguning, bermalam di kebun tatkala menyambut musim duku, rambutan dan durian. Atau gelak tawa saat kebersamaan keluarga tercipta ketika panen padi maupun panen ikan ketika kemarau tiba. Panggang ruan, panggang betok, seluang goreng, ikan pundang, gulai botok, gulai pindang, pucuk kunjing, pucuk kacang dan berbagai hal lain telah tertoreh menjadi sulaman kenangan yang menyebabkan kerinduan pada kampung halaman.

Dan yang pasti ada satu hal yang paling menyentuh hati tentang kerinduan ini ……

Disana telah menggenang dan tertanam tetesan darah, keringat dan air mata ibuku.
Ketika ia berjuang melahirkanku,
Ketika peluhnya jatuh menyusuri bahu dan ototnya yang lemah saat ia mengais rezeki untuk menghidupi dan memperjuangkan cita-citaku.
Ketika tetesan air matanya mengalir perlahan saat kerinduan hatinya mendera pada kami buah hatinya yang tengah berjuang menuai harapan…
Ditanah yang terletak ditepian sungai Musi yang bernama Bailangu … darah keringat dan air mata itu terserap menjadi tugu pertanda ibuku telah berjuang keras melakukan sesuatu untukku.

Terima kasih ibu .... aku selalu merindukan belaian hangatmu.

Kamis, 09 Februari 2012

Kisah Puyang Dak Bepusat dan Emas Dogan


Puyang Dak bepusat yang bernama asli Tiudin selain terkenal memiliki Ilmu kesaktian juga seorang Ulama sehingga beliau memangku jabatan Ketip atau penghulu agama yang merupakan jabatan turunan dari ayahnya yaitu Ketip Rakam, Jabatan ini juga dilanjutkan oleh anak tertua beliau yaitu Ketip Jalil.

Kisah ini terjadi pada bulan Ramadhan tetapi tahun nya tidak diketahui secara pasti.

Pada suatu malam di bulan Ramadhan sehabis tarawih dan tadarus, Puyang Dak Bepusat lalu tertidur. Dalam tidurnya yang nyenyak tersebut tiba-tiba beliau terbangun karena merasa hari sudah siang. Lalu beliau membuka jendela dan nampak langit terang benderang dan beliau merasa bangun kesiangan, lalu menyadari belum menunaikan sholat subuh. Kemudian beliau bergegas pergi kesungai Musi, namun anehnya Sungai Musi mengalami kekeringan yang luar biasa, sampai tidak terdapat air setetespun ketika sampai di dasar sungai. Kemudian beliau berjalan kaki menyusuri Sungai Musi sampai ke daerah Hulu atau Ulu Musi, barulah disana beliau menemukan air untuk berwuduh.

Setelah berwuduh, beliau kembali beranjak pulang untuk segera menunaikan sholat subuh di masjid Desa. Namun tatkala sampai di desa, sesaat sebelum naik tebing, beliau melihat pohon kelapa di pinggiran sungai Musi nampak merunduk atau melengkung ke bawah hingga buahnya mencapai dasar sungai. Lalu beliau mengambil sebutir buah kelapa muda yang masih berupa Dogan, kemudian beliau bawah ke Masjid. Sesampainya di Masjid, kelapa tersebut beliau masukkan kedalam Beduk, lalu beliau menunaikan sholat subuh sebagaimana biasa. Setelah menunaikan Sholat subuh sendirian di Masjid, beliau kembali lagi kerumah. Sesampainya dirumah, beliau masih merasakan ngantuk yang amat sangat, lalu kemudian beliau tertidur kembali.

Saat beliau terbangun, maka beliau melanjutkan aktifitas seperti biasanya yakni pergi keladang dan sawah sampai hari menjelang sore. Pada saat tiba waktunya berbuka puasa beliau teringat dengan Dogan yang tadi subuh disimpan di dalam beduk, lalu beliau memerintahkan salah seorang anaknya untuk mengambil Dogan tersebut, lalu mengambil airnya untuk ditampung di gelas dan diminum, setelah itu beliau membelah dogan tersebut untuk diambil daging isinya. Saat Dogan dibelah ternyata Dogan tersebut tidak hanya berisi daging kelapa sebagaimana biasa, melainkan terdapat sebongkah emas.

Emas tersebut akhirnya terkenal sebagai “Emas Dogan”, dan Emas tersebut akhirnya menjadi benda pusaka yang hanya dibagikan pada garis keturunan laki-laki beliau, dan Kakek kami H. M. Yusuf sebagai cicit (piut) garis keturunan langsung beliau akhirnya mendapat kan bagian emas tersebut kurang lebih satu suku, yang oleh orang tua kami (Bapak) dibuat cincin. Dan Emas tersebut saat di bawa ke Palembang dan diukur kadarnya bernilai 22 karat. Emas yang berupa cincin tersebut hanya disimpan sebagai benda kenangan dan tidak pernah dipakai. Dan diwanti-wanti oleh Kakek dan Bapak bahwa Emas tersebut tidak boleh dipakai oleh garis keturunan perempuan dari Puyang Dak Bepusat sebagaimana pesan turun temurun yang disampaikan oleh Puyang Dak Bepusat sendiri, apalagi jika yang memakainya bukan keturunan Puyang dak Bepusat sama sekali, tentunya sangat dilarang.

Pernah ada kejadian menarik, sekitar tahun 1980 saat saya kelas 2 SD, saat itu kakek kami baru menikahi wanita sunda, yang kami panggil Nenek Sunda. Saat menjelang sedekah aqiqah keponakan kami, Kakek membuka sebuah kotak yang berisi berbagai benda peninggalan yang terawat rapi, berupa uang logam zaman Belanda, beberapa kain batik koleksi Ibu kami, dan juga sebuah cincin emas yang di bungkus kain putih. Si Nenek begitu melihat cincin emas tadi langsung mengambil dan memasangnya di jari manis kiri beliau. Melihat hal tersebut Bapak memperingatkan sang nenek untuk tidak memakai cincin tersebut karena tidak boleh. Namun beliau ngotot dan mengatakan tahayul, dan tidak mau melepas cincin tersebut dari jemarinya. Seminggu setelah memakai cincin tersebut, tiba-tiba sang nenek jatuh sakit dan selalu mengingau, setelah berobat ke mantri desa namun tidak kunjung sembuh, akhirnya di panggil seorang paranormal dari Desa Supat. Menurut Paranormal tersebut nenek sunda memakai sebuah cincin pusaka, dan cincin tersebut harus segera dilepas agar tidak lagi mengalami sakit tersebut. Dan setelah cincin dilepas sang nenek mendadak sehat, dan menurut ceritanya selama sakit, dia didatangi seorang kakek-kakek yang selalu marah dan memukul dirinya.

Sayang nya cincin Emas tersebut saat ini sudah tidak berada lagi di keluarga kami, karena dicuri oleh salah seorang kerabat yang sudah dianggap anak sendiri oleh Bapak dan disekolahkan serta tinggal dirumah. Menurut pengakuannya cincin tersebut di jual kepada Orang Desa Kayuare. Dan kerabat tersebut pernah diperingatkan Bapak untuk mengembalikan cincin Emas tersebut, karena takut terjadi sesuatu pada dirinya, karena cincin tersebut adalah benda pusaka yang seharusnya tidak boleh dipegang oleh orang lain selain keturunan Puyang Dak Bepusat dan itupun harus dari keturunan laki-laki. Setelah sekitar 3 tahun ditunggu setelah kejadian pencurian, cincin tersebut tidak juga dikembalikan, tiba-tiba mendadak kami mendengar kerabat tersebut meninggal kecelakaan pada usia yang masih sangat muda/remaja. Sehingga sampai saat ini nasib cincin tersebut hilang tidak tahu rimbanya dimana. Dan siapa orang yang membeli dan memegang cincin tersebut tidak pernah diketahui.

Terlepas dari hal-hal gaib tentang cincin tersebut, menurut pendapat ulama yang pernah kami tanyakan, Puyang Dak bepusat telah mendapatkan Emas tersebut dalam peristiwa yang biasa kita kenal sebagai malam Lailatul Qodar. Dan mungkin hikmah dari peristiwa tersebut adalah, agar anak cucu keturunannya selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu Wata’ala. Dan Cincin tersebut sebagai cara Allah Swt, menunjukkan kekuasaannya …! Emas bisa ditemukan didalam sebutir kelapa, tentunya sulit dicerna dengan akal, kecuali berdasar iman kepada Allah Subhannahu Wata’ala. Wallahu 'alam bisshawab !

Kamis, 02 Februari 2012

Kisah Puyang Dak Bepusat dan Pusaka Empat Lawang


Kisah ini bermula dari terkenalnya kesaktian Puyang Dak Bepusat sampai ke Bumi Basema. Sebagai efek dari kisah heroik perjuangan Sultan Mahmud badarudin II yang berpusat di Bailangu. Karena itulah ada orang sakti daerah tersebut yang ingin sekali menjajal Ilmu Puyang Dak Bepusat. Orang tersebut berasal dari daerah pendopo Empat Lawang.

Pada suatu hari berangkatlah orang tersebut ke Bailangu, menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Sesampainya di Bailangu orang sakti tersebut menanyakan keberadaan Puyang Dak Bepusat yang saat itu tidak ditemukan berada di dusun. Maka atas petunjuk orang di dusun si orang sakti menyusul Puyang yang sedang berada di kebun. Dalam perjalanan menuju ke kebun si orang sakti bertemu seseorang yang sedang membawa tombak sedang beristirahat di bawah sebatang pohon, lalu siorang sakti menanyakan keberadaan Ketip tiudin yang berjuluk Puyang Dak Bepusat kepada orang yang sedang beristirahat tersebut. Dengan ramah orang yang sedang beristirahat menanyakan maksud kedatangan dan keperluan si orang sakti, sembari orang yang sedang beristirahat menancapkan tombaknya di tanah sambil berama tamah dengan si orang sakti.

Setelah bicara-bicara ringan orang yang sedang beristirahat tersebut beranjak berdiri mengajak si orang sakti melanjutkan perjalanan menemui Puyang Dak bepusat, namun saat ia akan mencabut tombaknya yang tertancap ditanah, dia minta bantuan si orang sakti. Lalu si orang sakti dengan sebelah tangannya mencabut tombak tersebut yang ternyata tertancap sangat kuat di tanah seolah terhisap, lalu si orang sakti menggenggam tombak tersebut dengan kedua tangannya dan berusaha mencabut tombak tersebut dengan sekuat tenaganya, namun hasilnya sia-sia. Tombak tersebut seolah merekat kuat dan menempel dengan tanah, kemudian si orang sakti mengerahkan tenaga dalamnya yang di barengi dengan Ilmu kesaktiannya, namun tombak tersebut masih tertanam tanpa mengalami pergerakan sedikitpun. Akhirnya si orang sakti memohon maaf kepada si pemilik tombak, dan mengatakan dia tidak sanggup mencabut tombak tersebut seraya menyatakan keheranan nya “mengapa tombak tersebut tertancap demikian kuatnya, padahal tombak hanya menancap separuh dari mata tombak”.

Kemudian si pemilik tombak memegang gagang tombak tersebut, lalu mencabutnya namun ajaibnya hanya dengan sebelah tangan tombak tersebut tercabut seperti tanpa beban, tidak sebagaimana orang sakti tadi mencabutnya dengan susah payah dan menguras tenaga.

Setelah tombak tercabut dari tanah, lalu si pemilik tombak mengajak si orang sakti dari Empat Lawang tersebut kembali ke Dusun untuk mampir kerumahnya karena hari sudah menjelang sore. Sesampainya dirumah, si orang sakti disambut dengan ramah tamah sebagaimana kebiasaan, kemudian setelah beristirahat si pemilik rumah baru memperkenalkan diri sebagai Ketip Tiudin alias Puyang Dak Bepusat.

Dari situlah akhirnya si Orang Sakti dari Empat Lawang akhirnya mengakui kehebatan Ilmu Puyang Dak Bepusat, dan mengajak “bafajar” atau “pengakuan persaudaraan” antara Orang Bailangu dan Keturuanan Empat lawang. Dan sampai sekarang masih tersimpan sebuah benda Pusaka kenangan dari Orang Sakti Empat Lawang berupa sebilah Tombak atau “Kujur” yang tersimpan berdampingan dengan tombak “Kujur” peninggalan Puyang Dak Bepusat

Dan kalau melihat adat istiadat perkawinan dan bahasa, memang ada kemiripan antara adat orang Bailangu dengan Adat dan bahasa orang Empat Lawang. Ini terlihat pada adat perkawinan orang Empat Lawang (Pendopo khusunya) yang lebih mirip adat Bailangu daripada adat Daerah Basemah (Pagaralam maupun Lahat). Sebagai bukti lain dari telah terjalinnya persaudaraan sejak zaman dulu kala tersebut adalah adanya satu kata yang penyebutannya sama yaitu “Nyemulung” yang artinya menangis yang penyebutan dan artikatanya sama. Walaupun secara umum dialek orang Empat Lawang (pendopo khususnya lebih banyak menggunakan huruf vocal “O” sementara Bailangu lebih banyak menggunakan huruf vocal “E”).
“Ketip Tiudin alias Puyang Dak Bepusat adalah cicit dari Puyang Abusaka pendiri Desa Bailangu yang berasal dari Desa Kima Sungai Liat Bangka dan cucu Puyang Lebe. Puyang Dak Bepusat merupakan Putra Tunggal dari Ketip Rakam yang Istrinya berasal dari Ulak Paceh. Jadi Puyang Dak Bepusat memiliki darah Ulak Paceh dari garis keturunan Ibunya.