Didesaku tempatku dulu menimba Ilmu….
Lirih lyrik lagu "Tanah airku" adalah sebagian kenangan yang membekas dan terus membayang pada sahabat dan para guru yang telah mengasah angan dan harapan di sebuah sekolah sederhana nun jauh di ujung desa di tanah kelahiran.
Lagu diatas mungkin sudah tidak dikenal oleh anak-anak zaman sekarang, tidak terkecuali mungkin anak-anak di kampung halamanku kini. Tapi lagu itu tetap membias dalam benakku, karena lagu itulah yang dulu sering kunyanyikan berulang-ulang setiap ada kesempatan untuk tampil didepan kelas saat berlomba siapa yang lebih dulu untuk pulang sekolah atau saat pelajaran seni suara salah satu mata pelajaran favoritku disekolah yang sangat sederhana itu. Sekolah Inpres pertama yang didirikan oleh pemerintah, di kampung halaman yang pernah dikunjungi “buya HAMKA”, yang novelnya dibawah lindungan ka’bah menjadi karya sastra melegenda.
Nun di ujung desa sekolahku yang masih berdinding susun sirih beroleskan cat kapur berwarna putih, dengan hiasan photo-photo pahlawan Nasional didinding ruang-ruang kelasnya dan beberapa lukisan karya anak didiknya yang berupa pemandangan alam pegunungan. Disekolah ini kami diajarkan membuka mata tentang pelajaran duniawi dan sebagian kecil pengetahuan tentang akhirat sebagai kurikulumnya. Melalui Bapak dan Ibu guru yang memang pantas di gugu dan ditiru mengajarkan banyak hal pada kami tentang perilaku, tata krama dan sopan santun serta kejujuran sesuai adat budaya bangsa. Dan terselip juga diantaranya tentang bagaimana kecintaan terhadap tanah air yang tersirat dari figure beberapa guru yang berasal jauh dari tanah jawa atau dari kabupaten lain yang akhirnya memilih menetap dan tinggal hidup membaur menjadi warga desa.
Cinta tanah air itu semakin melekat kuat ketika sepulang sekolah lumpur sawah menjadi sahabat sejati yang membaluri sekujur tubuh, dan meminum air yang langsung diseruput di pinggiran sungai Musi saat istirahat sekolah maupun setelah melalui penyaringan menggunakan lesung batu gunung yang akrab di sebut “saringan” di rumah adalah cara lain alam membenamkan doktrin mencintai tanah kelahiran. Bermain seluncuran dengan lumpur di belakang sekolah yang dibuat menyerupai permainan ski maupun berseluncur di tebing pinggiran sungai Musi adalah bagian kebaikan alam mengenalkan tanah air yang banyak memberikan berkah ini. Bermain di pasir pinggiran Sungai Musi saat kemarau tiba seolah menjadi nuansa lain yang menjadi kenangan indah, kelokan sungai Musi di hulu dan hilir desa dengan deretan pepohonan menjadi latar belakangnya semakin menambah indah kenangan sepanjang hayat dikandung badan.
Sekolah yang sederhana ini memacuh peserta didiknya dengan angan-angan yang tidak sederhana. Derap langkah murid yang sebagian masih bertelanjang kaki menuju kesekolah, tanpa sepatu mewah, bahkan ada yang berangkat dari sawah menyusuri jalan setapak dengan tas plastic “kantong kresek” sebagai wadah buku tulis lusuh, menggambarkan betapa semangat juang mereka untuk belajar begitu besarnya sehingga sulit digambarkan dengan kata-kata. Dengan Mata melotot memandang papan tulis hitam pekat dengan goresan kapur tulis, mereka berusaha menangkap setiap pelajaran yang di sampaikan Bapak-Ibu guru yang kadang terpaksa harus disampaikan menggunakan bahasa daerah karena murid-murid belum terbiasa bicara selain menggunakan bahasa ibu mereka yang telah menyatu dengan lidah sebagai subyek penghasil vocal konsonan anugerah Tuhan yang Maha Kuasa.
Dentang lonceng besi bernyanyi nyaring sebagai pertanda waktu belajar telah tiba, murid-murid berbaris tertib dipimpin ketua kelas yang dengan lantang meneriakkan “siap grak, lencang kanan grak, tegap grak…!” lalu menunjuk salah satu dari dua barisan yang berjejer untuk masuk lebih dulu ke ruang kelas. Kemudian satu demi satu guru kelas masuk mengiringi langkah kaki murid-muridnya untuk segera memulai mata pelajaran. Tidak lama kemudian terdengar koor murid-murid membaca do’a pembuka “Robbi Srohli Soddri, wayasirli amri wahlul uq’datam min lisanni yafqohu qouli”, dengan begitu bersemangatnya menyambut hari baru dengan lipatan tangan rapi diatas meja kayu yang sederhana. Sementara sang Pahlawan tanpa tanda jasa, tidak kalah semangatnya menginstall ilmu pengetahuan pada murid-muridnya, tanpa kenal lelah karena sebagian besar murid lebih banyak bengong karena kelelahan membantu orang tua baik pekerjaan rutin disawah maupun mengasuh adik yang masih balita atau memang kecerdasan Intelektual (IQ) mereka memang kurang memenuhi persyaratan karena tidak terpenuhinya syarat empat sehat lima sempurna dalam konsumsi makanan mereka.
Ketika dentang lonceng bergema kembali, pertanda jam istirahat tiba, dengan cepat dan sigap murid-murid berhamburan keluar ruang kelas, dan beberapa saat kemudian telah membentuk kelompok bermain masing-masing. Murid perempuan membentuk kelompok bermain “epak” mainan tradisional yang murah meriah hanya bermodalkan tanah yang digaris berbentuk petak sebagai lambang permainan, ada juga sebagian lain yang bermain catut karet. Sementara murid laki-laki sibuk bermain “gonto” (kelereng) dan kelompok lainnya bermain kasti bermodalkan satu bola tenis dan tongkat pemukul dari sepotong kayu. Teriakan gembira dan ringisan salah satu dari mereka yang terkena “cas” atau tembakan yang mengenai tubuh mereka dari lawan mainnya menjadi gema yang berkumandang membelah kesunyian hutan di sekeliling sekolah. Ada lagi sebagian murid yang sibuk dengan keahliannya melempar buah asam yang disebut “kadeper” yang batangnya tumbuh dan berdiri kokoh ditengah lapangan sekolah. Sementara murid kelas lima dan kelas enam biasanya sibuk bermain bola volley bersama guru olah raga. Gelak tawa dan canda membahana di angkasa, menembus cakrawala menjadi hiasan partikel-partikel udara yang terbang bersama awan menuju lagit biru yang membentang. Begitu indahnya kebersamaan itu. Disaat haus menerpa ketika permaian usai, lari menuju sungai sang sumber air mata alam menjadi tujuan sempurna. Menyeruput air dari sumbernya langsung telah menjadi kebiasaan turun temurun yang diwarisi dari kakak kakak kelas sebelumnya, sekalipun sering di ingatkan bapak dan ibu guru karena bisa menjadi sumber penyakit seperti muntaber, kolera dan disentri. Tetapi alam begitu mencintai kami, anak-anak yang dibesarkan dalam pelukan semesta raya yang membentang nan indah ini. Penyakit sepertinya tidak tega menghampiri kami, karena kuman dan segala sahabatnya telah terlalu akrab bersahabat setiap hari, sehingga dari air hujan yang mengguyur, dari tanah lumpur, dan dari air sungai yang tidak pernah menyentuh dinding tempayan yang dipanaskan dengan kayu bakar dengan suhu tertentu yang menjadi prasyaratnya ternyata justru menghasilkan kekebalan tubuh luar biasa, yang justru begitu susah payah didapat oleh anak-anak di perkotaan yang padat gizi.
Ketika waktu masuk kembali tiba, murid-murid segera bergegas menuju ruang kelasnya masing-masing untuk kembali bergulat dengan berbagai mata pelajaran yang entah menyangkut di otak atau sekedar numpang lewat dari telinga kiri lantas segera hilang melalui telinga kanan sebagaimana Bapak dan ibu guru sering mengingatkan. Dentang lonceng pertanda pulang, seolah gema alam yang paling dinanti oleh setiap murid-murid, karena pertanda dimulainya waktu bermain bebas, sebebas burung-burung yang terbang diangkasa raya menikmati setiap pesona waktu bersama teman sebaya. Ada pula yang segera bergegas menyusul orang tua kesawah atau ladang untuk sekedar berbuat semampunya meringankan beban dipundak orang tua mereka.
Kasih sayang bapak dan ibu guru yang tiada kenal lelah memberi bimbingan, seolah menjadi belaian kasih tak terhingga yang meresap kuat dalam ingatan sepanjang masa. Guru yang rela mendatangi rumah murid-muridnya satu persatu pada malam hari, sekedar memastikan bahwa murid-muridnya tekun belajar dan tidak berkeliaran bermain saat malam menjelang, guru yang rela mendatangi orang tua agar anak-anaknya diberi kesempatan untuk sekolah dan dibebaskan dari beban mengasuh adiknya yang masih balita karena harus menjalani ujian sekolah, seolah menjadi motivasi lain yang kuat menanamkan disiplin dan tanggung jawab terhadap masa depan. Celetar rotan “sege” sepanjang satu meter di papan tulis tatkala Bapak dan Ibu guru menyampaikan mata pelajaran, seolah menjadi hentakan yang menyejukkan agar ilmu dapat terbenam dan merekat kuat dalam ingatan para murid yang terdiri dari anak-anak desa yang lugu yang kadangkala bimbang menaruh harapan masa depan mereka.
Saat waktu terus bergulir, hari meretas minggu, minggu meretas bulan, dan bulan meretas tahun. Dari kwartal ke kwartal waktu terus berpindah meninggalkan kenangan berupa sederetan angka nilai yang terpatri di buku raport, maupun ijazah. Setelah itu murid-murid kembali berjibaku dengan berbagai tantangan kehidupan selanjutnya. Ada yang meneruskan sekolah kejenjang berikutnya, namun ada juga yang harus puas dengan pendidikan yang telah didapat dan terpaksa putus sekolah karena alasan kondisi ekonomi orang tua yang tak sanggup membiayai ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Nun di ujung desa kesunyian kembali menjadi nyanyian alam, yang mengitari sekeliling sekolah. Di sebuah prasasti yang menggambarkan betapa dulu di sini telah lahir beribu-ribu harapan, beribu-ribu kisah sukses anak desa membelalakkan mata pada ilmu pengetahuan yang terlahir dari sebuah kesederhanaan sarana pendidikan. Dari para guru yang sederhana. Guru yang telah mengenalkan dunia melalui pengajarannya, guru yang telah mengenalkan banyak hal tentang ketrampilan, ketangkasan, kecerdasan, kejujuran dan kesederhanaan. Guru yang mengajarkan tentang kedisiplinan, sikap hormat dan bertanggung jawab dengan belaian kasih sayang atau lewat hukuman terhadap kesalahan dengan celetar cemeti dari rotan pada telapak tangan. Sekalipun saat ini mereka mungkin tidak sempat mengenal tekhnologi yang terus berkembang, dari satellite palapa B2 yang dulu mereka ajarkan. Mereka yang mungkin tidak pernah tahu dan mengenal system koneksi Radio Link, VSAT atau bagaimana fiber optic dapat menghantarkan berjuta informasi dalam sekejap, mereka yang tak sempat mengenal berbagai gadget terbaru dan bagaimana internet menjadi penghubung belahan dunia yang dapat diakses bahkan dari sekolah sederhana kami yang masih berdiri megah menantang zaman hingga saat ini. Tetapi mereka telah mengenalkan banyak hal tentang mimpi, tentang harapan dan angan-angan anak desa yang sebagian bertelanjang kaki menyusuri harapan masa depan.
Kini kembali lirih syair ku dendangkan sembari membayang pada lentera yang telah menghidupkan sebuah harapan :
Tanah airku tidak kulupakanKan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan Tanah airku -Ibu Soed-
Salam rindu buat sahabat alumni SD Negeri 3 Bailangu
angkatan 1978 - 1984 :
Ani Purnama, Yurike Sanger, Rozalina, Rita. S Ruslan, Rosmala Dewi, Sri Wartini, Sri Hartati, Sri Pitriani, Susilawati, Maisuha, Ernawati, Nazirin, Zilpikar, Iwan Damyat, Iwan Denin, Ahyar, Tarzan, Saipul Oce, Sudir Oce, Mariadi/Cik ding, Rozali/Sekerut pakam, Darmizal, Tarmizon, Mintaria, Holip, Alpian, Sarwo Edi, Imran, Latip M, Waliya Talatop, Rasmadi, Slamat, Ishan.
Para guru yang bijak bestari :
Bpk Ishak Kohar, Guru Kholil, Pak Abuyani, Pak Awwan Auwab, Ibu Suroya, Ibu Aswati, Ibu Arjuna, Ibu Rozita, Ibu Yati Darman, Ibu Yamcik, Pak Sutarman, Ayahanda guru Alimaskaro
Para guru yang bijak bestari :
Bpk Ishak Kohar, Guru Kholil, Pak Abuyani, Pak Awwan Auwab, Ibu Suroya, Ibu Aswati, Ibu Arjuna, Ibu Rozita, Ibu Yati Darman, Ibu Yamcik, Pak Sutarman, Ayahanda guru Alimaskaro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar