Kamis, 21 Mei 2009

Prahara Menempa Asa (Otobiografi)




BAB I
PRAHARA MENEMPA ASA

Butir-butir bening air mata Ibuku perlahan jatuh, tetes demi tetes menelusuri lekuk cekung pipinya yang hitam hangus terbakar matahari. Hari ini kembali jantungku bergejolak, dan hatiku berontak hebat menyesali tubuh kecilku yang lunglai dan hanya mampu terpaku tatkala segenap penghinaan secara bertubi-tubi menghantam ketegaran hati yang dibalut kepasrahan kedua orang tuaku. Ya .. hari ini ditengah terik mentari yang panas membakar kulit tubuhku dan ibuku terdengar merdu alunan senjang batanghari sembilan dengan berbagai lirik yang sarat akan petuah namun disampaikan dengan bahasa jenaka. Nun diujung dua pematang sawah tiba-tiba suara alunan senjang berhenti secara tiba-tiba dan berganti dengan sebuah pengumuman lantang dari sebuah pengeras suara “Toa” yang biasa aku lihat ditempat-tempat pesta dan aku tahu persis siapa yang empunya “Toa” berwarna biru itu. Kemudian terdengar sebuah pengumuman penting yang seolah sengaja ditujukan kepada kami berdua, dua manusia anak beranak yang tak punya kekuasaan, kekuatan, atau apapun untuk sekedar berargumentasi untuk membela diri. “Pengumuman ..pengumuman .. !” terdengar dari Toa berulang-ulang. “Diumumkan kepada semua orang Bailangu ….!” Kembali terdengar Toa berkumandang … “Guru Karo ade utang seratus due puluh lime ribu rupiah …. Beli kasur belum bayo … ha..ha..ha..ha ..!” terdengar suara tawa menggema membela kesunyian siang terik ditengah saba yang terletak diujung desa. Hatiku begitu perih mendengarnya, sekalipun saat itu aku tak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun melihat air mata ibuku menetes perlahan dari kedua pipinya, aku mafhum pengumuman tersebut memang ditujukan kepada kedua orang tuaku, sengaja kepada Ibuku, karena Bapak saat itu sedang mengajar, sedang mendarma baktikan segenap kemampuannya untuk kecerdasan anak-anak Desa Bailangu agar menjadi manusia yang arif bijaksana, tidak sombong dengan kekayaan, kekuasaan dan kekuatannya. Sepertinya si pemilik pengumuman mengerti betul akan kekuatannya dan memahami betul siapa yang dilawannya. Lawan yang tidak lebih dari seorang wanita, ibu dari tujuh orang anak yang kurus ceking karena bermimpi kelak anak-anaknya dapat bersekolah dan menyelesaikan pendidikannya, dan dapat merubah strata kehidupannya tidak hanya sebatas menjadi petani penggarap sawah, penyadap getah para, atau menjadi petani ladang berpindah. Hatiku memekik, tiba-tiba seolah ada sebuah tekad yang tiba-tiba muncul untuk melakukan sebuah tindakan pembelaan kepada ibuku. Tapi dari sudut mataku yang lembab karena basah oleh air mataku yang tanpa terasa menetes mengikuti perasaan ibuku, aku melihat bibir ibuku bergetar melafaskan kalimah-kalimah tauhid, mengucapkan istighfar berulang-ulang, lalu perlahan beliau bangkit dari rendaman air sawah yang hitam pekat, kemudian membersihkan tubuhnya disumur sebelah pondok lalu mengambil air wuduh untuk segera melaksanakan sholat Dzuhur. Aku diam terpaku menatap ibuku ditengah rerimbunan anak padi yang tumbuh tinggi subur hampir menyamai tinggi tubuhku. “Fik..fik”..! tiba-tiba ibu memanggilku “istirahatlah dulu ..!” aku tersentak, dan bersegera menyeka air mata dengan ujung tangan bajuku yang kumal karena sudah berbalut dengan Lumpur sawah.
Dengan sigap aku mengumpulkan beberapa kayu bakar yang tersusun rapi dibawah pondok, beberapa batang segera kumasukkan kebawah tungku besi. Lalu satu batang kucacah menjadi potongan-potongan kecil. Aku sudah tahu persis apa yang mesti kulakukan untuk menghidupkan api buat memasak. Potongan-potongan kecil kayu itu berguna sebagai pemancing api, karena kalau langsung menghidupkan api di batang kayu yang cukup besar api akan sulit hidup, apalagi kalau kayunya agak lembab terkena embun malam. Disamping potongan kayu kecil, sebuah benda murah yang diperlukan adalah potongan ban bekas yang dipotong berbentuk segitiga. Biasanya kami mendapatkannya dalam perjalanan menuju kesawah. Setelah api siap segera aku mencuci beras, dan lantas meletakkannya diatas tungku setelah kumasukkan air secukupnya. Biasanya aku mengukurnya dengan jari telunjuk, dimana ketinggian air didalam periuk harus dua kali sama dengan ketinggian beras. Setelah beras ditanak segera aku kembali ketengah sawah untuk melihat pancing yang ditajur sekaligus memetik beberapa pucuk kangkung merah yang tumbuh liar dipinggiran tabak sawah.
Makan siang kali ini seolah menjadi penghibur atas kesedihan yang baru kami alami, nasi bercampur “kerak mudo”. Dibaluri dengan sambal “cung uap” dengan lalap kangkung dan lauk ikan “ruan panggang” hasil tajuran tadi pagi, seolah menghapus semua dendam, sakit hati atas penghinaan manusia terhadap keluarga kami. Berganti dengan rasa syukur atas anugrah Tuhan berupa limpahan nikmat lewat kemudahan kami mendapatkan segala sesuatu yang dihamparkanya dialam semesta, dan dengan sedikit perjuangan kami telah dapat menikmatinya siang ini disertai hembusan angin sepoi-sepoi yang seolah ingin segera menina bobokkan aku yang kekenyangan sehabis menyantap makan siang kami yang sederhana tapi cukup dengan prasyarat empat sehat, dimana ada nasi, sayur, lauk pauk kecuali susu yang termasuk barang mahal dan langka bagi kami.
Selesai makan ibu kembali lagi kesawah dan tidak lama kemudian seolah tenggelam diantara rerimbunan anak padi yang harus segera kami pindahkan tempat penyemaiannya agar tidak kekeringan. Karena kalau sampai kekeringan akan menyebabkan anak padi menjadi kerdil, dan tentunya akan menyulitkan pada saat penanaman karena sawah tadah hujan memerlukan padi yang cukup tinggi sebagai benih.
Suara burung but-but membangunkan aku, ternyata cukup lama aku tertidur tadi. Suara burung but-but menandakan hari menjelang senja. Kanan-kiri aku memandang, menelusuri hamparan sawah ditanami padi yang nampak kehitaman, ibuku tidak nampak. Entah kenapa tiba-tiba rasa gelisah menyergap hatiku, aku takut ada apa-apa terjadi dengan ibuku. Dalam suasana gelisah, tiba-tiba terdengar suara ibu memanggilku. “Fik ..! sudah bangun..! kata ibuku, “hayo bersiap, kita pulang, ..!” Perjalanan pulang ke desa memerlukan waktu tempuh kurang lebih 1 jam berjalan kaki. Perlahan suara burung but-but mengiringi langkah kaki kami berdua meninggalkan sawah dihulu desa hari ini dengan segenap kenangan yang kelak akan terlukis kuat dalam benakku. Sebuah celetar cemeti yang membekas dalam nalar akalku. Sebuah pelajaran hidup yang begitu dahsyat, yang menjadi guru filosofis ku, sebuah kecongkakan manusia atas kekuatan dan kekuasaannya yang kelak tidak boleh aku tiru. Sebuah kesabaran yang bersandar pada kepasrahan akan takdir Tuhan yang harus dijalani dengan ikhlas dan sabar, yang ditunjukkan oleh ibuku. Melawan penghinaan dengan do’a, melawan penghinaan dengan keyakinan suatu saat kesombongan akan menelan dan menghancurkan manusia itu sendiri. Dan keyakinan suatu saat Tuhan akan merubah nasib kita jika kita mau berubah dengan berbuat.
Langit memerah memantul indah dihamparan sungai Musi, terlihat laksana lukisan yang terhampar dikanvas yang maha besar. Tatkala langkah lunglaiku sampai di tikungan ujung Desa. Sekilas di sebelah kiri aku menatap sekolahku yang sepi karena hari ini adalah hari libur, kurang dari dua puluh menit lagi kami akan sampai kerumah. Sesampai dirumah ibu segera meletakkan keranjang yang berisi sedikit sayuran berupa pucuk daun kunjing yang biasa kami jadikan lalapan yang didapat disekitar sawah tadi dan beberapa batang umbut rotan untuk dimasak dijadikan gelaian gulai pindang penyedap masakan ikan ruan yang didapat dari tajuran disawah tadi.
“Fik … ajak adikmu mandi, jangan lupa bawa derijen airnya ya ..!” begitu teriak ibu dari dapur, “ya … mak..!” jawabku. Sudah menjadi kebiasaan kami kalau mandi harus menjinjing derijen Air lima liter, karena pada saat musim tanam padi begini air sumur sudah mengering, untuk itu kami harus mandi kesungai Musi yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumah kami. Bertiga dengan dua adik kembarku, aku berjalan disertai nyanyian kecil mengiringi langkah kami yang rapuh menuju sungai Musi, sesampai dipemandian yang berupa potongan batang kayu besar. Segera aku memandikan adik-adikku dan menggosok seluruh tubuh mereka dengan sabun mandi, setelah selesai baru aku bergegas membersihkan badanku yang terasa begitu gatal, karena lumut bercampur Lumpur sawah yang sudah mengering. Digosok dengan sabut kelapa dicampur sabun mandi terasa begitu nikmat.
Sampai rumah azan maghrib telah menggema, terdengar dari radio Transistor tua kami, kulihat kakek telah bersiap untuk melaksanakan sholat berjamaah. Segera aku mengambil posisi berjajar dengan Bapak dan adik-adikku, kami memang terbiasa sholat maghrib berjamaah dengan Imam kakek kami Haji Muhammad Yusuf yang begitu kami kagumi dan hormati. Kulihat ibuku sudah siap dibarisan belakang, segera aku membaca iqomah sebagai tanda sholat segera dimulai. Sholat berjamaah memberikan makna filosofi tersendiri kepadaku. Aku memaknainya sebagai sebuah kebersamaan dalam mengarungi gelombang kehidupan dengan bersandar pada keyakinan bahwa Tuhan akan mendengar segenap do’a yang kami sampaikan, do’a kakek akan masa depan anak cucunya agar menjadi lebih baik. Lebih baik dari kakekku yang hanya mantan pengawa (kepala dusun) dan pernah menjabat “Keria” (Kades) serta juru tulis keresidenan namun tetap pensiun sebagai petani desa, lebih baik dari Bapakku yang seorang “umar bakri” bergelar pahlawan tanpa tanda jasa sekaligus merangkap sebagai petani sawah. Dimana menjelang akhir masa darma baktinya cukup puas menjabat sebagai kepala SD tempat dimana kami memulai belajar baca tulis. Yah .. seolah dengan segenap keyakinannya kakek melihat masa depan cucunya akan lebih baik lagi daripada anaknya atau lebih baik dari nasib Bapakku.
Sebelum tidur saya kembali tercenung, menyaksikan ibuku masih menyempatkan diri beres-beres rumah, menyapu dan mengepel sambil tiada hentinya beliau mengalunkan ayat-ayat suci, seolah beliau berdialog dan berkelu kesah dengan Tuhan menyampaikan permasalahan yang dihadapi dan berharap jalan keluar, sekaligus berharap kehidupan kedepan akan lebih baik dari apa yang tengah dialami saat itu.
Sayup-sayup lantunan ayat suci dari ibuku perlahan mengantar ku kealam mimpi, mimpi akan kehidupan yang lebih baik. Dan menghilangkan mimpi buruk hari ini, Semoga yang membekas adalah sebuah tekad yang kuat untuk menjadi manusia yang tegar dalam meraih kehidupan yang lebih cemerlang.
Sudah terlalu banyak prahara menimpa, namun belajar dari pengalaman hidup, prahara justru menjadi pemicu semangat untuk menjadi lebih baik. Aku banyak mendengar dari kakek, bagaimana masa kecilnya dulu begitu miris karena hidup dengan ibu tiri yang selalu berusaha mengebiri kebahagiaan dan kebebasannya dalam mengarungi perjalanan hidup. Bagaimana satu-satunya kain yang merupakan seragam sekolahnya disembunyikan dibawah “batang” hingga lapuk terendam air sungai Musi dimana saat tanpa sengaja ketika kakek mandi dan menyelam menemukan kainnya yang sengaja disembunyikan oleh ibu tirinya sekedar memenuhi keinginan iblis laknat yang bersemanyam didalam dirinya. Atau kejadian lain saat kakek dan kakak perempuannya diajak pergi ke “Talang” dan saat Bapak kakek atau Puyang Mahyit telah lebih dahulu berangkat menyadap getah karet dan Ibu tirinya sengaja menyusul dibelakang dengan tujuan sebelum berangkat membuang beras untuk makan siang kakek dan kakaknya yang saat itu masih kecil ke “Air lemban” dibawah pondok, sehingga saat lapar mendera terpaksa kakek memungut beras di air limbah hitam pekat bercampur Lumpur yang sebenarnya hanya layak untuk menjadi makanan hewan tersebut untuk dimasak sebagai santapan makan siang.
Prahara demi prahara selalu datang mendera, menjadi untaian sulaman kenangan yang tak akan pernah terlupa. Melekat menjadi sejarah, terekam sebagai lukisan kenangan hidup sepanjang masa. Menjadi mata pelajaran maha penting dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Prahara kehidupan tidak berhenti sebatas Kakek, Bapak, dan Ibu saja yang mengalami, seiring berjalannya waktu, kami sebagai generasi ketigapun tidak kalah hebatnya diguncang prahara. Ketidak mampuan dan keberdayaan kami seolah menjadi eksploitasi empuk bagi orang lain untuk menghina, mencela, mengejek bahkan berlaku sedikit biadap terhadap kami. Banyak cerita miris yang kudapat dari kakak perempuan tertuaku yang biasa kupanggil “pek sok”, beliau sebagai anak tertua seolah mengemban tugas maha berat dipundaknya untuk menjadi sosok wakil Orang tua bagi kami adik-adiknya. Kisah perjalanan kami dalam menempuh cita-cita laksana menapaki rimba yang dipenuhi binatang buas yang siap menerkam tubuh kecil kami yang lemah, ditambah dengan onak dan duri yang tersebar dimana tempat kami berpijak menapaki langkah-demi langkah mengayun asa.
Pertama kakak-kakakku “dilepas” meraih cita, mereka dititipkan dirumah adik bungsu almarhumah nenek kami Hajjah Zainab, tidak terhingga rasa terima kasih kami atas kebaikan itu. Walau dalam perjalanan nya, banyak perlakuan yang kurang menyenangkan yang kami dapat dari orang-orang yang justru seharusnya menjadi pelindung dan pengayom kami. Adalah kisah baju yang telah bersih dicuci oleh kakakku,dibuang kejalan sehingga menjadi kotor kembali, dan kakakku “pek sok” hanya bisa menangis menghadapi kejadian itu. Namun dalam setiap kesusahan selalu Tuhan mendatangkan malaikat penolong pada kami, ada-ada saja orang lain yang berbaik hati membantu walau sekedar bersimpati dan menghibur hati kami yang sedang galau dan sedih. Suatu ketika nasi yang sedang ditanak “pek sok” dibuka tutupnya lalu dikentuti oleh seseorang yang masih terbilang saudara, sebuah sikap aniaya yang sebenarnya sangat menyakitkan hati. Entah apa jadinya andaikata saya waktu itu telah dewasa, mendengarnya saja hati saya menggelegak rasanya. Tapi yah saat itu apalah daya kami, apalagi kakak masih merupakan gadis kecil yang lemah dan kakak laki-lakiku belum begitu paham dengan apa yang terjadi, mereka masih anak ingusan yang seolah menjadi permainan empuk sebagai hiburan biadap perilaku mereka. Kakak ku yang ketiga pernah dimasukkan kedalam gerobak rokok, lalu pintunya dikunci dari luar. Tak dapat kubayangkan bagaimana ketakutan yang dialami kakakku saat itu, rasa marah, terhina, dilecehkan bercampur raduk. Tapi sekali lagi kami saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, sekedar mengumbar amarah dengan kata-katapun kami tak sanggup. Menerima, pasrah dan diamlah yang kami bisa.
Prahara itu tidak berhenti sampai disitu saja, dalam masalah tempat tinggal tidak sedikit ujian dan cobaan yang harus kami alami. Tinggal dibawah kolong rumah lantas dikencingi dan disiram air dari atas oleh pemilik rumah adalah hal biasa. Pernah juga kakak-kakakku diusir hanya karena anak pemilik rumah iri dan sentimen pada kakakku. Rumah banjir dipenuhi air got adalah rutinitas yang pernah aku alami sendiri, setiap habis hujan aku harus menimbah rumah dan tidur dalam keadaan kedinginan diatas kasur butut tua. Rumah menjadi sarang nyamuk dan sebelum tidur kami harus membakar sabut kelapa atau kertas Koran agar bisa tidur sedikit lebih nyenyak supaya tidak mendapat gangguan dari nyamuk-nyamuk kota yang tidak kalah ganasnya dengan nyamuk hutan yang tinggal dan hidup direrimbunan kebun para. Nyamuk-nyamuk tersebut seolah mengejek kami sekaligus menguji ketegaran kami dalam meraih cita-cita kehidupan yang lebih baik. Seolah nyamuk-nyamuk itu berkata bahwa apalah bedanya tinggal dikota dengan tinggal di Talang kebun para, toh nyamuk-nyamuk juga yang dihadapi. Bahkan saat sedang enak-enak tidur jari kaki digigit tikus seperti hiburan tersendiri bagi kami. Kami begitu akrab dengan tikus-tikus got kota, karena setiap malam selain bertemu dijalan juga kami sering dikunjungi mereka tatkala malam menjelang. Saat kaum borju tidur lelap disofa empuk mereka, menuai mimpi dengan segala rasa syukur atau dengan kesombongan, ketamakan, dan kecongkakan mereka, kami justru harus bersyukur bisa tidur berhimpitan beralas “kasur lamat butut” yag entah sudah berapa kali terendam air, dan berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain. Sehingga sudah tak sanggup menahan malu kalau mau menjemurnya diterik matahari untuk membunuh kuman dan bakteri yang subur bersemayam sebagai pembawa penyakit kulit sehingga panu seakan tak ada matinya melekat ditubuh kami, laksana lukisan tato suku-suku dipedalaman amazon.
Di awal perpindahan ku sekolah di Palembang pun tak kalah sedihnya, olok-olok sebagai “wong dusun” alias anak kampungan begitu melekat kuat. Tersisih dan disisihkan dari kelompok teman-teman “wong kota” adalah nasib yang sepertinya harus dijalani, sekalipun dari segi kemampuan belajar bukan menjadi masalah yang serius untuk bersaing dengan mereka yang lebih padat gizi dan penuh dengan belaian kasih sayang dari orang tua mereka setiap hari dan limpahan materi yang menurut saya seharusnya mereka jauh lebih berprestasi.
Prahara demi prahara menjadi cambuk untuk terus bergerak maju, melampaui hari, meretas bulan, mengejar tahun menjadi rajutan sulaman kenangan kehidupan. Pekik “Toa” yang dulu membahana ternyata fitnah semata, fitnah yang sengaja diciptakan sekedar untuk mengusik ketenangan kehidupan kami. Berdasarkan atas rasa dengki yang tak berujung pangkal, rasa bangga berbalut nafsu angkara, kekuatan dan kekuasaan yang salah kaprah.
Pada akhirnya kesabaran berbuah kemenangan dan kesombongan ternyata tidak menghasilkan apa-apa selain kehampaan. Sebuah Filosofi kehidupan yang Maha Dahsyat untuk dijalani sepanjang hayat.

Tidak ada komentar: