Sabtu, 17 Januari 2009

Ayah dan Ibuku

Ayahanda kami bernama Haji Alimaskaro bin Haji Muhammad Yusuf.
Beliau adalah sosok yang tegar, kuat secara fisik, konsisten dalam sikap. Tidak punya jiwa bisnis, tapi memiliki jiwa penolong yag sangat tinggi. Jarang sekali marah apalagi memukul. Seumur hidup saya, hanya dua kali saya dipukul. Pertama menggunakan sampang (kain basahan utuk mandi) gara2 kedua adik kembar saya nangis rebutan mainan dan saya dikira yang menyebabkan mereka menangis. Kedua ketika berbaris akan masuk kelas disekolah saya menoleh kebelakang. Tiba-tiba ada pukulan telapak tangan mendarat dipunggung saya dan ternyata Ayahanda yang melakukan. Itulah salah satu contoh yang ditanamkan beliau kepada anak-anaknya bahwa kalau salah (disekolah beliau adalah kepala Sekolah saya), sekalipun anaknya, tetap dikenai hukuman. Bahkan kakak keempat saya (Kak Izar) pernah tidak naik kelas hanya gara-gara memberi contekan kepada temannya, itulah bentuk konsistensi beliau dalam bersikap. Ketegaran sikap beliau adalah terlihat pada saat beliau menghadapi masalah yang sangat pelik seperti ketika beliau diperlakukan tidak adil. Misalnya pernah suatu ketika beliau diancam dan nyaris di tusuk dengan pisau oleh salah seorang sepupunya gara-gara masalah penjualan kebun karetnya. Setelah dipisah oleh sepupunya yang lain, beliau tidak mendendam dan meneruskan persengketaan tersebut. Beliau lebih memikirkan kehidupan anak-anaknya ketimbang mengikuti emosi sesaat yang andaikata terjadi justru akan menyebabkan kami anak-anaknya terlantar. Bahkan saat saudara sepupunya tersebut bersumpah jika dia meninggal haram bagi ayah saya memandikan mayatnya beliau hanya diam saja. Dan justru setelah sepupunya tersebut meninggal lebih dahulu beliau yang mengurus kematiannya (walaupun tidak memandikannya, karena teringat sumpah)bahkan anak-anak sepupunya tersebut tetap beliau perhatikan dan beliau urus sebagaimana tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Ketegaran beliau juga terlihat pada saat Kakek kami menuntut untuk mencari pendamping hidup dimasa tuanya. Beliau mencarikan jodoh untuk Kakek kami bahkan sampai empat kali menikah setelah Nenenda kami meninggal Dunia pada tahun 1975. Dan dalam pernikahan kakek kami tersebut bukannya mengatasi masalah Ayahanda tapi justru menambah beban hidup Ayahanda dan kami anak-anaknya, Tapi disinilah saya sekali lagi melihat ketegaran beliau dalam menghadapi setiap permasalahan juga sikap hormat dan kecintaan beliau kepada orangtuanya pada masa tua, telah memberikan sebuah renungan yang begitu mendalam kepada saya sebagai anaknya juga kepada anak-anaknya yang lain untuk dijadikan landasan dalam mengarungi kehidupan ini. Untuk masalah bisnis memang beliau mengakui tidak memiliki naluri bisnis yang baik, walaupun pernah mencoba beberapa kali berbisnis. Singat saya beliau pernah Dagang beras di pasar Cinde Palembang, juga pernah Dagang Rotan. Jadi pengumpul di kampung, kemudian di bawa ke Palembang. Saya ingat pernah ikut beliau membawa
Rotan menggunakan Truk, berangkat jam 5.00 Sore dari Kampung sampai ke Palembang sekitar Jam 2 Malam. Tapi bisnis hanya ditekuni beliau beberapa saat, nampaknya sekedar memanfaatkan sedikit peluang untuk menambah sedikit penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup, dan menambah simpanan utuk biaya sekolah kami anak-anaknya.
Sesuatu yang paling saya banggakan dari beliau adalah jiwa penolongnya yang begitu tulus pada siapa saja. Sehingga beliau banyak sekali anak angkat baik dari kalangan keluarga sendiri, dari Tetangga desa sebelah sampai dari tanah Jawa yang ada kalanya sampai saat ini kami tidak mengetahui sama sekali jejak keluarga mereka. Anak siapa, latar belakangnya apa. Beliau begitu tulus memberikan perhatian kepada mereka, laksana beliau memperlakukan kami sebagai buah hatinya.

Ibunda kami bernama Hajjah Hainah binti Nawawi
Beliau anak Yatim sedari kecil. Kakek kami yang bernama Nawawi berasal dari desa Lumpatan, meninggal pada saat ibunda kami baru berumur 8 bulan. Lalu kemudian Nenek kami menikah lagi dengan duda tanpa anak, yang akhirnya memberikan beliau 6 orang adik. Ibunda kami tergolong pendiam, penyayang, perhatian, pekerja keras, tabah, jujur, serta begitu ikhlas dalam mengarungi kehidupannya. Ibu kami juga tak pernah meninggalkan ibadah, sesuatu yang selalu menjadi suri tauladan saya dalam memahami Tauhid (Ke Esa an Tuhan yang sebenarnya). Beliau begitu percaya bahwa Tuhan itu ada, Tuhan tidak pernah tidur, dan Tuhan akan mengabulkan setiap Do'a hambahnya sekalipun tidak kita terima dengan serta merta dan pada saat do'a itu dipanjatkan. Sepertinya Do'a sudah menjadi kelaziman beliau selain tulus dan ikhlas berusaha. Beliau membesarkan kami dalam perjuangan yang begitu berat. Sebelumnya 3 tahun beliau belum dapat mempersembahkan buah hati kepada Ayahanda kami. Disini hinaan dan cacian mulai beliau terima, karena ayah kami anak laki-laki satu2nya dan beliau hanya memiliki satu saudara perempuan. Namun berkat kesabaran, kekompakan ayah dan ibu kami dalam menghadapi cobaan, serta usaha yang terus menerus dan tanpa kenal lelah akhirnya Tuhan memberkahi beliau Sepuluh orang Putra putri. Namun Tuhan tidak akan memberikan karunia jika tidak memberikan cobaan. Tiga diantara sepuluh Putra putri beliau telah menanti dipintu Sorga, sebagai dayang-dayang yang tampan dan perkasa, Yakni Putra ketujuh yang lahir kembar Tiga. Begitu ketujuh anaknya yang diberikan umur panjang oleh Tuhan, justru menjadi cobaan yang maha dahsyat dimana ditelapak tangan Ibuku yang halus serta digenggaman jemarinya yang lembut tertumpu harapan belaian yang begitu luas untuk menjadikan kami manusia-manusia yang memiliki keinginan kuat untuk tidak menjadi manusia lemah. Dan diatas bahunya yang lunglai dan tidak begitu kokoh diharapkan melahirkan putra putrinya yang perkasa dan memiliki jiwa pantang menyerah. Dan dari senandungnya, penghantar tidur kami dimalam hari terbetik harapan agar kami tidak menjadi "pondoh" (si pungguk yang merindukan Bulan) dalam meraih cita-cita. Dan dari do'a serta senandung kalam Ilahi yang selalu beliau lantunkan teriring do'a dan harapan untuk menjadi tolok ukur keberhasilan beliau yang sekolah tidak sampai tamat Tsanawiyah agar dapat menghantarkan kami Sekolah lebih tinggi, lebih dari apa yang terbenam dalam benak orang-orang kampung akan apa yang dapat beliau lakukan untuk kami anak-anaknya. Masih lekat dalam ingatan saya betapa gigihnya beliau memperjuangkan kehidupan kami anak-anaknya, setelah sholat subuh belumlah sinar mentari menyapa alam semesta beliau setelah menyiapkan sarapan pagi buat kami sekeluarga lalu bersiap untuk pergi kesawah yang cukup jauh dan melelahkan untuk dijangkau dengan jalan kaki. Tidak cukup satu sawah yang diolah, beliau mengolah dua sawah sekaligus yang terletak di hilir (ilo dusun) dan di Hulu (ulu dusun). Pulang dari sawah menjelang magrib, lalu memasak untuk makan malam. Tidak jarang beliau mandi ketika hari sudah mulai gelap. Selesai sholat magrib menyiapkan makan malam, baru dapat istirahat sebentar biasanya beliau sempatkan menemani kami belajar. Selepas Sholat Isya beliau beres-beres rumah antara lain menyapu dan mengepel rumah kami yang terbilang cukup besar. Namun disitulah terlihat kegigihan dan sikap pantang menyerahnya.

Tidak ada komentar: