Selasa, 14 Februari 2012

Aku rindu kampung halamanku ....!

Matahari belumlah menampakkan diri, ketika asap kayu bakar mulai mengepul dari selah-selah dinding dan atap dapur warga, sebagai manifestasi kesibukan ibu-ibu yang semenjak subuh telah sibuk dengan segala persiapan ala kadar untuk membekali keluarganya dengan sarapan pagi. Dengan makanan khas antara lain godo-godo pisang, nasi ketan dan kopi manis yang merupakan makanan tradisi . Ibu-ibu siap menghantarkan para suami menjemput harapan masa depan mereka di alam yang terhampar luas berupa kebun para, ladang dan sawah. Sementara denguhan anak-anak yang baru beranjak dari peraduan terdengar sayup-sayup menyapa alam, sebagian dari mereka masih sedikit malas membuka kelopak mata untuk menuruni anak tangga kemudian berjalan gontai dan ada yang malah tergesa-gesa menelusuri jalan setapak menuju pinggiran sungai Musi untuk segera mandi dan membersihkan diri, lalu bersiap-siap dengan seragam sekolah ala kadarnya menjemput harapan masa depan mereka.

Ketika matahari mulai menyeruak menembus embun pagi kesibukan semakin bertambah, ibu-ibu berjalan beriringan dengan sang suami dengan sebuah keranjang rotan menggelayut di rongga kepala mereka berisi bekal ala kadar dan beberapa alat kerja seperti, mandau, sengkuit, arit dan lain sebagainya yang dibutuhkan untuk menggarap sawah, sebagian lagi sibuk menimbah perahu untuk mengeringkan air hujan yang menggenang atau imbas dari sedikit kebocoran dempul perahu yang mulai retak termakan usia. Tidak lama kemudian dengkuh dayung menyusuri sungai, dan seolah membelah alam dengan kepak air yang pecah di hentak satu persatu helaan dayung perahu untuk mendorongnya maju menatap asa di hamparan alam yang dituju.

Tidak kalah sibuknya jalanan arteri desa oleh sekumpulan anak muda berseragam sekolah yang saling menjemput teman sejawat mereka dengan sepeda ontel tua yang biasa disebut dengan “kereto angen” dengan riang gembira mendayung handle sepeda, menjemput impian masa depan mereka di sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas di ibukota kabupaten yang berjarak sekitar dua puluh dua kilo meter jauhnya. Dering bel sepeda tua dan gelak tawa canda mereka seolah menjadi nyanyian alam, yang menggema, menggetarkan sanubari. Karena nyanyian itu adalah nyanyian harapan, nyanyian itu adalah nyanyian menjemput impian masa depan. Nyanyian sukma yang lahir dan dibesarkan alam untuk bertekad merubah strata kehidupan dari petani sawah, petani ladang berpindah atau pergulatan hidup menjadi anak kapak toke para menjadi pendobrak dunia yang sayup-sayup terdengar indah dari berita yang dikabarkan mulai dari pidato sang proklamator Bung Karno yang menanamkan sugesti untuk menggantungkan cita-citamu setinggi bintang dilangit. Atau dari siaran Radio Trasnsistor tua yang mengabarkan berbagai berita tentang berbagai perubahan dunia, maupun dari televisi hitam putih yang masih sangat langkah yang memilikinya dengan jangkauan antenna tinggi menjulang mencakar langit, berusaha menangkap gelombang frekuensi dengan susah payah sehingga gambar samar-samar berbintik cukuplah menjadi penghibur memandang sudut lain perubahan dunia. Semuanya melahirkan sugesti, dan sugesti itu melahirkan impian. Ada yang berkeinginan menjadi Insinyur, Dokter, Guru, Tentara, Polisi, pegawai negeri atau hanya sekedar membekali diri dengan kemampuan baca tulis, dimana sebagian keluarga keturunannya nampak begitu tertinggal karena masih buta hurup dan hanya bisa menempelkan jempol tangan kiri saat mendaftarkan anak-anak mereka kesekolah.

Perlahan tapi pasti padi disawah mulai menguning, Ibu-ibu dan para suami kembali sibuk dengan tuai mereka berlomba dengan burung pipit memanen buahnya yang menguning dan terhampar luas di persawahan. Derik lantai pondok dari anyaman bambu terdengar ringkih oleh pijakan kaki mengurai buah padi dari tangkainya. Sementara anak-anak ikut serta dengan riang gembira atau malah sedikit merasa terpaksa karena diharuskan ikut membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah, sementara dalam benak mereka menari-nari keinginan untuk bermain dan bergembira bersama teman-teman sebaya.

Dan perlahan namun pasti anak-anak berseragam sekolah sebagian ada yang meneruskan cita-cita mereka lalu melanjutkan perjuangan harapan masa depan mereka ke kota untuk menatap liku-liku lain dari sebuah perjuangan menyambut impian. Laksana pungguk yang merindukan bulan mereka ditempa kembali ketahanan mentalnya dengan bekal seadanya dan harapan tiap bulan ada kiriman dari kampung halaman berupa sekarung bekal berupa sembako dan mujur kalau saat itu sedang ada musim ikan atau buah-buahan. Karena akan sedikit menambah protein dan gizi disela-sela padatnya perjuangan harian perut yang sudah terbiasa dengan nasi hangat ditaburi sedikit garam dengan lauk kerupuk yang sudah merupakan makanan rutin yang dilalui bersama padatnya tugas sekolah. Makanan tersebut seolah berlombah cepat dengan hapalan yang harus dipadatkan dalam rongga otak berupa kosa kata bahasa inggris, logaritma, rumus kimia, rumus fisika, rumus akuntansi keuangan, atau teori psikologi kejiwaan serta Ilmu matematika dasar yang seolah bebannya tidak kalah beratnya dengan mengangkut dua karung goni padi disawah hingga di hantarkan ke pabrik penggilingan beras di desa. Tidak kalah sibuknya ejekan dari nyamuk-nyamuk kota yang menggerogoti tubuh kurus yang tidak padat gizi karena tempat kos hanyalah kolong rumah yang jauh dari kesan sehat. Onggokan kasur tua dan meja belajar yang perlahan berkurang kekuatannya karena lapuk digerogoti rayap adalah bagian saksi sejarah betapa beratnya perjuangan cita-cita menjadi manusia modern dengan berbagai gelar dan embel-embel yang diidamkan.

Namun ada sebagian dari mereka yang menyerah pada nasib percintaan, sehingga tidak sempat menamatkan sekolahnya, karena terlanjur memilih hidup dengan cinta dalam mahligai rumah tangga. Memang ada sebagian yang dapat meneruskan sekolah sembari hidup berkeluarga. Tetapi sebagian besar mengubur cita-cita mereka dan kembali bergulat dengan keakraban lama sebagai perjalanan hidup turunan dari orang tua yakni kembali menjadi petani sawah, peladang atau pun penyadap getah para. Tapi ada yang jalan hidupnya lebih tragis, dengan alasan membuktikan rasa cinta yang mendalam terhadap pasangannya, maka saat perhelatan pernikahan, mereka menggelarnya dengan gemerlap pesta dengan modal pinjaman dari toke para yang kaya raya. Memang mashur pesta pernikahan mereka sepanjang masa, sampai-sampai ada yang memberi nama anak mereka yang lahir disaat bersamaan dengan perhelatan tersebut dengan “nama orkes” yang ditanggap, atau menggunakan nama biduan yang sempat berjoget dengan Bapak si jabang bayi ketika pesta digelar. Tetapi sesudah pesta gemerlap usai, sang pengantin baru harus menghadapi kenyataan bahwa hutang menggunung harus segera dicicil. Lalu pilihannya adalah satu dekade menjadi anak kapak sang toke di talang, sehingga kadang tiga orang buah hati telah menjadi buah rasa cinta mereka, hutang belum juga lunas. Ironi memang, tetapi itulah fakta kehidupan yang harus dijalani dan menjadi sejarah.

Disisi lain tirai kehidupan berjalan ada pula sejarah tercipta, jangan pula di tanya tentang beratnya perjuangan mereka yang meneruskan perjuangan cita-cita mereka di bangku sekolah, tantangan dan hambatan tidaklah mudah untuk ditaklukkan. Hambatan ekonomi disertai sikap sentimentil yang kadang kala timbul manakala rasa iba terbayang melihat orang tua di kampung halaman yang berjibaku berjuang keras mengais rezeki untuk memenuhi permintaaan bertubi-tubi akan kebutuhan anak-anaknya di kota kadangkala mengecilkan semangat juang.

Akhirnya setiap perjuangan hidup akan menghasilkan sesuatu. Rekan sejawat yang memilih hidup di kampung halaman meneruskan tradisi turun temurun, lalu melahirkan generasi baru dengan gejolak keinginan baru. Sementara di bentangan dunia lain rekan sejawat yang sukses meraih cita-cita mereka terus menapaki hidup sembari sesekali membayangkan kerinduan akan indahnya alam di desa.

Gemerincing suara dering sepeda, hentakan dayung perahu, nyanyian burung-burung dipagi hari, kokok ayam menyambut pagi, sawah menguning yang terhampar dan berbagai makanan khas lauk pauk menjadi penghias kerinduan hati. Bermalam di sawah tatkala padi mulai menguning, bermalam di kebun tatkala menyambut musim duku, rambutan dan durian. Atau gelak tawa saat kebersamaan keluarga tercipta ketika panen padi maupun panen ikan ketika kemarau tiba. Panggang ruan, panggang betok, seluang goreng, ikan pundang, gulai botok, gulai pindang, pucuk kunjing, pucuk kacang dan berbagai hal lain telah tertoreh menjadi sulaman kenangan yang menyebabkan kerinduan pada kampung halaman.

Dan yang pasti ada satu hal yang paling menyentuh hati tentang kerinduan ini ……

Disana telah menggenang dan tertanam tetesan darah, keringat dan air mata ibuku.
Ketika ia berjuang melahirkanku,
Ketika peluhnya jatuh menyusuri bahu dan ototnya yang lemah saat ia mengais rezeki untuk menghidupi dan memperjuangkan cita-citaku.
Ketika tetesan air matanya mengalir perlahan saat kerinduan hatinya mendera pada kami buah hatinya yang tengah berjuang menuai harapan…
Ditanah yang terletak ditepian sungai Musi yang bernama Bailangu … darah keringat dan air mata itu terserap menjadi tugu pertanda ibuku telah berjuang keras melakukan sesuatu untukku.

Terima kasih ibu .... aku selalu merindukan belaian hangatmu.

1 komentar:

AutoLink mengatakan...

Pulanglah.....